MENGEMBANGKAN METODE PEMIKIRAN ISLAM




MENGEMBANGKAN METODE PEMIKIRAN ISLAM

MAKALAH
Diajukan Untuk Salah Satu Tugas Mata Kuliah Pengatar Studi Islam
Description: E:\kuliah ana\logo unhasy\1374157_599204740136108_768064378_n.jpg
Oleh:
1.      Ayu Ernawati
2.      Muhammad Zainudin
3.      Muhmmad  Basyar Abdul Haqq
4.      Muhammad Itqon Isomuddin

Dosen Pembimbing :

Khoirul Umam M.Pd.i

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS HASYIM ASY’ARI
JOMBANG
2013/2014
 


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Al-jabiri dengan mengacu pada kamus Lisan AL-Arabi karya Ibn Manszur,  menyimpulkan bahwa term al-bayan mengandung empat pengertian, yakni pemisahan , keterpisahan, jelas, dan penjelas. Keempat pengertian tersebut dapat diklasifikasikan Secara etimologis, al-burhan dalam bahasa Arab, adalah argumentasiyang kuat dan jelas (al-hujjat al-bayyinat). Dalam inggris, al-burhan disebut demonstration, berasal dari bahasa latin demonsrate yang berarti isyarat, sifat, keterangan, dan menampakkan.Al-Burhan dapat juga diartikan sebagai pembuktian yang tegas (decisive proof) dan keterangan yang jelas.
Menjadi dua kelompok: al-bayan sebagai metodologi, yang berarti keterpisahan dan jelas. Irfan dengan bahasa Arab merpakan masdar dari ‘arafa yang semakna dengan ma’rifah. Dalam kamus Lisan Al-‘Arab, al-‘irfan diartikan dengan al-‘ilm. Dikalangan para sufi, kata’irfan dipergunakan untuk menunjukkan jenis pengetahuan yang tertinggi, yang dihadirkan dalam qalbu dengan cara kasyf atau ilham. Hanya saja, istilah ini berkembang penggunaanya dikalangan sufi, kecuali pada masa-masa belakangan ini saja.
B.     RUMUSAN MASALAH
a.    Apa yang dimaksud dengan pendekatan Bayani?
b.    Apa yang dimasud dengan pendekatan Irfani?
c.    Apa yang dimaksud dengan pendekatanBurhani?










BAB II
PEMBAHASAN

A.     PENDEKATAN BAYANI
Al-jabiri dengan mengacu pada kamus Lisan AL-Arabi karya Ibn Manszur,  menyimpulkan bahwa term al-bayan mengandung empat pengertian, yakni pemisahan , keterpisahan, jelas, dan penjelas. Keempat pengertian tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok: al-bayan sebagai metodologi, yang berarti keterpisahan dan jelas.
Namun, pada wilayah konotasi teoretis konseptual, al-bayan sebagai sistem epistemologi mencakup tiga pasangan konsep dasar: lafal ma’na, ashl-far, dan substansi-aksidensi. Pasangan konsep pertama dan kedua mencakup aspek aspek metodologis, sedangkan pasangan konsep ketiga mencakup aspek pandangan dunia.
Pendekatan bayani ini sudah lama dipergunakan oleh para fuqoha’, mutakallimun, dan ushulliyun. Tujuan pendekatan bayani adalah:
1.      Memahami atau menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan makna yang dikandung dalam (atau dikehendaki) lafazh. Dengan kata lain, pendekatan ini dipergunakan untuk mengeluarkan makna zahir dari lafazh dan ibarah yang zahir pula;dan
2.      Istinbat hukum-hukum dari al-nusus an-diniyah dan Al-Quran khususnya.

Makna yang dikandung dalam hadis, dikehendaki oleh, dan diekspresikanmelalui teks dapat diketahui dengan mencermati hubungan antara makna dan lafazh dapat dilihat dari segi:
1)      Makna wad’i;untuk apaa makna teks itu dirumuskan, meliputi makna khas, ‘am, dan mustarak;
2)      Makna isti’mali; makna apa yang digunakan oleh teks, meliputi makna haqiqoh (sarihah dan mukniyah)dan makna majaz (sarih dan kinayah);
3)      Darajat al-wudhuh; sifat dan kualitas lafz, meliputi muhkam, mufassar, nas, zahir, khafi, mushkil, mujmal, dan mutasabih; dan
4)      Turuqu ad-dalalah, penunjukan lafz terhadap makna, meliputi adalah dalalah al-ibarah, dalalah al-isyarah, dalalah al-nass, dan dalalah al- iqtida’ (menurut hanafiyah), atau dalalah al-manzum dan dalalah al-mafhum, al-muwafaqah maupun mafhum al-mukhalafah (menurut Syafi’iyyaah).
Untuk itu, pendekatan bayani menggunakan alat bantu (instrumen) berupa ilmu-ilmu kebahasaan dan uslub-uslubnya serta ashab an-nuzul, dan istinbat atau istidlal sebagai metodenya. Sementara kunci (keywords) yang sering dijumpai dalam pendekatan ini meliputi asl-far’-lafz ma’na (mantuq al-fughah dan muskhilah ad-dalalah; dan nizanm al-kitab dan nizal al-aql), khabar qiyas, dan otoritas salaf (sultah al-salaf). Dalam al-qiyas al-bayani, kita dapat membedakannya tiga macam:
1.      Al-qiyas berdasarkan ukuran ukuran kepantasan antara asl- dan far’ bagi hukum tertentu; yang meliputi:
a.       Al-qiyas al-jali;
b.      Al-qiyas fi ma’na an-nash; dan
c.       Al-qiyas al-khafi;
2.      Al-qiyas  berdasarkan ‘illat terbagi menjadi:
a.       Qiyas al-‘illat dan
b.      Qiyas al-dalalah;
3.      Al-qiyas al-jama’i tehadap ashl dan far ‘.
Dalam pendekatan bayani  dikenal 4 macam bayani:
1)      Bayan al-i’tibar, yaitu penjelasan mengenai keadaan, keadaan segala sesuatu, yang meliputi:
a.       al-qiyas al-bayani, baik al-fiqhy, an-nahwy dan al-kalamy; dan
b.      al-khabar yang bersifat yaqin maupun tasdiq;
2)      Bayan al-i’tiqad, yaitu penjelasan mengenai segala sesuatu yang meliputi makna haq, makna muayabbih fih, dan makna batil;
3)      Bayan al-ibarah yang terdiri dari:
c.       al-bayan az-zahir yang tidak membutuhkan tafsir; dan
d.      al-bayan al-batin yang yang membutuhkan tafsir, qiyas, istidlal dan khabar;
4)      Bayan al-kitab, maksudnya media untuk menukil pendapat-pendapat da pemikiran dari katib khat, katib ‘aqd, katib hukm, dan katib tadbir.



Dalam pendekatan bayani, karena dominasi teks sedemikian kuat, peran akal hanya sebatas sebagai akal alat pembenaran atau justifikasi atas teks yang difahami atau diinterpretasi. Namun, menggunakan pendekatan bayani saja, tidaklah cukup karena terkadang tidak   didapat penjelasan teks (nash) Al-quran maupun Al-Hadis yang berkaitan dengan seni tradisi. Misalnya, jika mencari teks atau nash Al-Quran dan  Al-Hadis yang berkaitan dengan seni trdisi hadrah, tahlilan, shalawatan, berjanji atau seni tradisi dlam bentuk upacara seperti sekaten, ruwatan, tingkeban (tujuh bulan bagi yang hamil), selametan atau haul hari ke-3, 7, 40, 100,dan ke-1000, sampai kapan puntidak akan ditemukan.
Demikian juga, tidak rerdapat teks atau nash yang menjelaskan seni budaya dalam bentk seni musik(pop, rock, dangdut) seni model Sulis dan Hadad Alwi, Bimbo, nasyid serta banyak lagi seni tradisi atau seni budaya lainya seperti dalam bentuk arsitektur , seni gamelan, wayang, ludruk, jaipongan, dan sebagainya.
Di samping itu, terkadang sekalipun terdapat nash atau teks normatif Al-Quran dan Al-Hadis yang berkaitan dengan seni budaya sepeti larangan menggambar  (seni lukis) dalam sejumlah hadis bukhari, Musim dan Ahmad, penjelasan teks tersebut sangat berkaitan erat dengan konteks historis dan sosiologisnya, sehingga tidak cuup dengan hanya menggunakan pendekatan bayan saja cenderung melahirkan pndangan keagamaan yang binnar opposition (hitam-putih, halal-haram, sunah-bid’ah), tertutup kaku dan intoleran.
Oleh karena itu, diperlukan pendekatan atau perspektif lain yang lebih bersikap terbuka, luwes, dan toleran, yaitu pendekatan burhani dan irfani.Melalui pendekatan burhani (penerapan analis rasiona-ideologis), kita dapat mengungkapkan konteks dari suatu risalah keagamaan dan mengungkapkan realitas sejarah dari suatu seni tradisi, baik geonologi pemikiran, nilai-nilai spiritualitas dan regiliusitasnya maupun kandungan filosofis, local wisdom (kearifan lokal) serta visi pencerahan dan kritik sosialnya.
B.     PEDEKATAN IRFANI
‘Irfan dengan bahasa Arab merpakan masdar dari ‘arafa yang semakna dengan ma’rifah. Dalam kamus Lisan Al-‘Arab, al-‘irfan diartikan dengan al-‘ilm. Dikalangan para sufi, kata’irf            an dipergunakan untuk menunjukkan jenis pengetahuan yang tertinggi, yang dihadirkan dalam qalbu dengan cara kasyf atau ilham. Hanya saja, istilah ini berkembang penggunaanya dikalangan sufi, kecualipada masa-masa belakangan ini saja.
Ketika irfan diadopsi kedalam islam , para ahli al-‘irfan mempermudahnyamenjadi pembicaraan mengenai al-tawzif, dan upaya menyingkap wacaniQur’ani dan memperluas ‘ibarahnya untuk memperbanyak makna. Jadi, pendekatan Irfani merupakan sebuah endekatan yang dikembangkan oleh kaum arif untuk mengeluarkan makna batin dari batin lafz dan ‘ibarah; ia juga merupakan Istinbat al-ma’rifah al-qalbyah dari Al-Quran.
Pendekatan irfani adalah pendekatan pemahaman yang bertumpu pada instrumen pengalaman batin, dhawq, wijdan, basirah, dan instuisi. Metode yang dipergunakan , meliputimanhajkashfi dan manhajiktishafi. Manhaj kashfi disebut juga manhaj ma’rifah ‘rfani yang tidak menggunakan indra atau akal, tetapi menggunakan kashf dengan riyadah dan mujahadah. Manhaj iktishafi disebut juga al-mumathilah (analogi), yaitu metode untuk menyingkap dan menemukan rahasia pengetahuan melalui analogi-analogi. Analogi dalam manhaj ini mencangkup:
a.       analogi berdasarkan angka atau jumlah seperti ½ = 2/4 = 4/8 , dst;
b.      tamthil yang meliputi silogisme dan induksi; dan
c.       surah dan ashkal.
Dengan demikian, al-mumathilah adalah manhaj iktishafi dan bukan manhaj kashfi. Pendekatan ‘irfani juga menolak atau menghindari mitologi. Kaum ‘irfaniyyun tidak berurusan dengan mitodologi, bahkan justru membersihkannya dari persoalan-persoalan agama. Dengan irfani pula, mereka lebih mengupayakan menangkap hakikat yang terletak dibalik shari’ah, dan yang batin (ad-dalalah al-lughawiyyah). Dengan memperhatikan dua metode diatas, kita mengetahui bahwa sumber pengetahuan dalam irfani mencakup ilham/intuisi dan teks (yang dicari makna batinnya melalui ta’wil).
Kata-kata kunci yang terdapat dalam pendekatan ‘rfani, meliputi tanzil-ta’wil, haqiqi-majazi mumathilah an zaahi-batin. Hubungan zahir-batin terbagi menjadi 3 segi: 1) siyasi mubashar, yaitu memalingkan makna-makna ibarat pada sebagian ayat dan lafazh kepada pribadi tertentu; 2) ideologi  mazhab, yaitu memalingkn makna-makna yang disandarkan pada mazhab atau ideologi tertentu; dan 3) metafisika, yakni memalingkan makna-makna kepada gambaran metafisik yang berkkaitan dengan al-ilah al-mut’aliyah dan aql kully dan nafs al-kulliyah.

Pendekatan ‘irfani banyak dimanfaatkan dalam takwil. Takwil ‘irfai terhadap Al-Quran bukan merupakan istinbat, bukan ilham, bukan pula kashf, tetapi ia merupakan upaya mendekati lafazh-lafazh Al-Quran lewat pemikiran yang berasal dari dan berkaitan dengan warisan ‘irfani yang  ada sebelum Islam, dengan tujuan menangkap makna batinnya.
Contoh konkret dari pendekatan ‘irfani lainnya adalah falsafah ishraqi yang memandang pengetahuan diskursif (al-hikmah al-batiniyyah) harus dipadsecara kreatif  harmonis dengan pengetahuan intuitif (al-hikmah al-dhawqiyah). Dengan pemaduan tersebut, pengetahuan yang diperoleh menjadi pengetahuan yang mencerahkan, bahkan akan mencapai al-hikmah al-haqiqah.
Pengalaman batin Rasulullah SAW. Dalam menerima wahyu Al-Quran merupakanontoh konkret dari pengetahuan ‘irfani. Namun, dengan keyakinan yang kita pegangi selama ini, pengetahuan ‘irfangi akan dikembangkan dalam kerangka ittiba’ ar-rasul.
Dapat dikatakan, meskipun pengetahuan ‘irfani bersifat subjektif, semua orang dapat merasakan kebenarannya. Artinya, setiap orang dapat melakukan dengan tingkatan dan kadarnya sendiri-sendiri, validitas kebenarannya bersifat partisifatif. Sifat intersubjektif tersebut dapat dformulasikan dalam tahap- tahap sebagai berikut. Pertama,tahapan persiapan diri untuk memperoleh pengetahuan melalui jalan hidup tertentu yang harus ia ikuti untuk sampai pada kesiapan menerima “pengalaman”. Selanjutnya, tahapan pencerahan dan terakhir tahap kontruksi. Tahap terakhir ini merupakan upaya pemaparan secara simbolik saat diperlukan, dalam bentuk uraian, tulisan, dan struktur yang dibangun, sehingga kebenaran yang diperoleh dapat diakses oleh orang lain.
Imlikasi dari pengetahuan ‘irfani dalam konteks pemikiran keislaman, adalah mengampiri agama-agama pada tataran substantif dan esensi spiritualitasnya, dan mengembangkannya dengan penuh kesadaran akan adanya pengalamannya dengan keagaman orang lain (the otherness) yang berbeda aksidensi dan ekspresinya, namun memiliki substansi dan esensi yang kurang lebih sama. Kedekatan kepada Tuhan yang transhistoris, transkultural, dan transreligius diimbangi rasa empati dan simpati pada orang lain secara elegan setara. budaya dan peradapan yang disinari oleh pancaran fitnah ilahiyah.

Melalui pendekatan irfani (penerapan analisis esoterik-intuitif), makna hakikat atau makna terdalam dibalik teks dan konteks dapat diketahui. Jika asmsi dasar atau paradigma bayani lebih melihat teks sebagai sebuah fenomena kebahasaan,sementara paradigma burhani lebih melihat teks sebagai suatu yang berkaitan  dengan konteks, paradigma irfani lebih melihat teks sebagai sebuah simbol dan isyarat (al-ramiyat wa al-ima’) yang menuntut pembacaan dan penggalian makna terdalam (bathin) dari simbol-simbol dan isyarat-isyarat tersebut dengan melibatkan kecerdsan emosional, kecerdasan sosial, dan kecerdasan spiritual. Dalam konteks dialektik agama dan pluralitas seni tradisi atau budaya lokal, pendekatan ‘irfani ini sebagaimana juga pendekatan burhani, memiliki dua tugas penting. Pertama,membaca makna-makna terdalam dari simbol-simbol dan isyarat-isyarat teks-keagamaan (nushush ad-ddiniyat). Kedua, membaca makna-makna terdalam dari simbol-simbol dan isyarat-isyarat yng terkandung dalam bentuk-bentuk seni tradisi atau budaya lokal.
Ketiga pendekatan diatas, saling berkait erat antara satu dan yang lainnya dan membentuk hubungan dialogis-melingkar (sirkuler-dialektis): memahami teks (bayani), tidak dapat dipisahkan dari pemahaman konteksnya (burhani); pemahaman konteks (burhani) tidakdapat erlepas dari pemahaman  teks itu sendiri (bayani); sementara pemahaman makna terdalam (irfani); membutuhkan pemahaman teks dan konteks sekaligus.

C.    PENDEKATAN BURHANI
Secara etimologis, al-burhan dalam bahasa Arab, adalah argumentasiyang kuat dan jelas (al-hujjat al-bayyinat). Dalam inggris, al-burhan disebut demonstration, berasal dari bahasa latin demonsrate yang berarti isyarat, sifat, keterangan, dan menampakkan.Al-Burhan dapat juga diartikan sebagai pembuktian yang tegas (decisive proof) dan keterangan yang jelas.
Dalam Al-Mu’jam Al-falsafi dijelaskan bahwa burhan adalah penjelasan terhadap sesuatu hujjah secara transparan, atau merupakan hujjah itu sendiri, yang mengharskan adanya tashdi (pembenaran) terhadap suatu persoaan karena kebenaran argumentasinya. Adapun menurut terma logika, burhan adalah analogi yang disususn dari beberapa premis untuk mendapatkan hasil yang menyakinkan.
Burhan adalah pengetahuan yang diperoleh dari indra, percobaan dan hukum-hukum logika. Burhani atau pendekatan rasional argumentasif adalah pendekatan yang mendasarkan diri pada kekuatan rasio melalui instrumen logika (induksi, deduksi, abduksi, smbolik, proses, dll.) dan metode diskursif (bathiniyah). Pendekatan ini menjadikan realitas maupun teks dan hubungan antara keduanya sebagai sumber kajian. Realitas yang dimaksud mencakup realitas alam (kawniyyah), realitas sejarah (tarikhiyyah), realitas sosial (ijtimaiyyah), dan realitas budaya (tsaqafiyyah). Dalam pendekatan ini, teks dan realitas (konteks) berada dalam satu daerah yang saling memengaruhi. Teks tidak berdiri sendiri, ia selalu terikat dengan konteks yang mengelilingi dan mengadakannya sekaligus dari mana teks itu dibaca dan ditafsirkan. Di dalamnya ada maqulat (kategori-kategori), meliputi kully-juz’iy, jauhar-‘arad, ma’qulat-alfaz sebagai kata kunci untuk dianalisis.
Karena burhani menjadikan realitas dan teks sebagai sumber kajian, dalam pendekatan ini, ada dua ilmu penting, yaitu ilmu al-lisan dan ilmu al-mantiq. Yang pertama membicarakan lafz-lafz, kaifiyyah, susunan, dan rangkainnya dalam ibarat-ibarat yang dapat digunakan untuk menyampaikan makna, serta cara merangkainya dalam diri manusia. Tujuannya adalah menjaga lafazh ad-dalalah yang difahami dan menetapkan aturan-aturan mengenai lafazh tersebut. Adapun yang kedua membahas maslah mufradat dan susunan yang dengannya kita dapat menyampaikan segala sesuatu yang bersifat indrawi dan hubungan yang tetap di antara segala sesuatu tersebut, atau apa yang mungkin untuk mengeluarkan gambaran-gambaran dan hukum-hukum darinya.
Tujuannya adalah menetapkan aturan-aturan yang digunakan untuk menentukan cara kerja akal cara mencapai kebenaran yang mungkin diperoleh darinya . ‘Ilmu al-mantiq juga meruakan alat (manahij al-adillah) yang menyampaikan kiya pada pengetahuan tentang maujud, baik yang wajib atau mumkin, dan maujud fi-adhhan (rasionalisme) atau maujud fi al-a’yan (empirisme). Ilmu ini terbagi menjadi tiga; mantiq mafhum (mabhath al-tasawwur), mantiq al-hukm (mabhat al-qadaya), dan mantiq al-istidlal (mbhath al-qiyas). Dalam perkembangan modern,ilmu mantiq biasanya hanya terbagi dua, yaitu nazariyah al-hukm dan azariyah al-istidla.l

Dalam tradisi burhani, kita mengenal sebutan falsafat al-ula (metafisika) dan falsafat al-tsani. Flsafat al-ula membahas hal-hal yang berkaitan dengan wujud al-‘arady, wujud al-jawahir ula (jawahir ula atau ashkas dan jawahir thaniyah atau al-naw), maddah dan surah, dan asbab yang terjadi pada
a)      maddah, surah, fa’il, dan ghayah;
b)      ittifaq (sebab-sebab yang berlaku pada alam semesta);dan
c)      hazz (sebab-sebab yang berlaku pada manusia).
Adapun falsafat ath-thaniyah atau disebut juga ilmu al-tabi’ah,mengkaji masalah:
a.       hukum-hukum yang berlau secara alami, pada alam semesta (as-sunnah al-alamiyah) maupun manusia (as-sunnah al-insaniyah);
b.      taghayyur, yaitu gerak, baik azali (harakah qadimah) maupun gerak maujud (harakah haditsah) yang bersifat plural (muttanawwi’ah).
Gerak itu dapat terjadi pada jauhar (substansi: kawn dan fasad), jumlah (berkembang atau berkurang ), perubahan (istihalah), dan tempat (sebelum dan sesudah).                  
Dalam perkembangan keilmuan modern, fasafah al-ula(metafisika) dimaknai sebagi pemikiran atau penalaran yang bersifat abstrak dan mendalam (abstract and profound reasoning).Sementara itu, pembahasan mengenai hukum-hukum yang berlaku pada manusia berkembang menjadi ilmu-ilmu sosial (al-‘ulum al-insaniyyah). Dua ilmu terakhir ini mengkaji interaksi pemikiran, kebudayaan, peradaban, nilai-nilai, kejiwaan, dan sebagainya.
Oleh karena itu ,untuk memahami realitas kehidupan sosial-keagamaan dan sosial-keislaman,lebih baik apabila digunakan pendekatan-pendekatan sosiologi (sosiulujiyyah),antropologi(antrufulujiyyah), kebudayaan (tsaqafiyyah),dan sejarah (tarikhiyyah).
Pendekatan sosiologis digunakan dalam pemikiran islam untuk memahami realitas sosial-keagamaan dari sudut pandang interaksi antara anggota masyarakat.Dengan metode ini,konteks sosial suatu perilaku keberagamaan dapat didekati secara lebih tepat.Dengan metode ini pula,kita bisa melakukan reka cipta masyarakat utama.Pendekatan antropologi bermanfaat untuk mendekati masalah-masalah kemanusiaan dalam rangka melakukan reka cipta budaya islam.Tentu saja,untuk melakukan reka cipta budaya islam juga dibutuhkan pendekatan kebudayaan (thaqafiyyah) yang erat kaitannya dengan dimensi pemikiran,ajaran-ajaran,dan konsep-konsep,nilai-nilai dan pandangan dunia Islam yang hidup dan berkembang dalam masyarakat muslim.Agar reka cipta masyarakat muslim dapat mendekati ideal masyarakat,strategi ini menghendaki kesinambungan historis.Untuk itu,dibutuhkan juga pendekatan sejarah (tarikhiyyah).Hal ini agar konteks sejarah masa lalu,kini,dan akan datang berada dalam satu kaitan yang kuat dan kesatuan yang utuh (kontinuitas dan perubahan).Ini bermanfaat agar pembaharuan pemikiran Islam tidak kehilangan jejak historis.Ada kesinambungan historis antara bangunan pemikiran lama yang baik dengan lahirnya pemikiran keislaman baru yang lebih memadai  dan up to date.
Oleh karena itu,dalam burhani,keempat pendekatan-tarikhiyyah,sosiulujiyyah,thaqafiyyyah dan antrufulujiyyah-berada dalam posisi yang saling berhubungan secara dialektik dan saling membentuk jaringan keilmuan.










                                                      

















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pendekatan Bayani sumbernya didasarkan dari teks yaitu Al.Qur’an dan Hadits.Tujuan pendekatan bayani adalah:
1.      Memahami atau menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan makna yang dikandung dalam (atau dikehendaki) lafazh. Dengan kata lain, pendekatan ini dipergunakan untuk mengeluarkan makna zahir dari lafazh dan ibarah yang zahir pula;dan
2.      Istinbat hukum-hukum dari al-nusus an-diniyah dan Al-Quran khususnya.
Pendekatan Irfani bersumber dari pengalaman yaitu pengalaman-pengalaman spiritual. Pendekatan irfani adalah pendekatan pemahaman yang bertumpu pada instrumen pengalaman batin, dhawq, wijdan, basirah, dan instuisi. Metode yang dipergunakan , meliputimanhaj kashfi dan manhaj iktishafi.

Pendekatan Burhani bersumber pada rasio,analisis dan akal. Pendekatan sosiologis digunakan dalam pemikiran islam untuk memahami realitas sosial-keagamaan dari sudut pandang interaksi antara anggota masyarakat.Dengan metode ini,konteks sosial suatu perilaku keberagamaan dapat didekati secara lebih tepat.



DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihon. 2011. Pengantar Studi Islam. Pustaka Setia: Bandung.
Rozak, Abdul. 2001. Metodologi Studi Islam. Gema Media pustakatama: Bandung


Comments

Popular posts from this blog

BIOPSIKOLOGI

PENILAIAN BERBASIS KELAS

Sifat, hakikat, dan aktifitas kejiwaan manusia dalam kehidupan