MENGEMBANGKAN METODE PEMIKIRAN ISLAM
MENGEMBANGKAN METODE PEMIKIRAN ISLAM
MAKALAH
Diajukan Untuk Salah Satu Tugas Mata Kuliah Pengatar Studi Islam

Oleh:
1.
Ayu
Ernawati
2.
Muhammad
Zainudin
3.
Muhmmad Basyar Abdul Haqq
4.
Muhammad
Itqon Isomuddin
Dosen Pembimbing :
Khoirul Umam M.Pd.i
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS HASYIM ASY’ARI
JOMBANG
2013/2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Al-jabiri dengan mengacu pada kamus Lisan AL-Arabi karya Ibn Manszur, menyimpulkan bahwa term al-bayan mengandung empat pengertian, yakni pemisahan ,
keterpisahan, jelas, dan penjelas. Keempat pengertian tersebut dapat
diklasifikasikan Secara etimologis, al-burhan dalam bahasa Arab, adalah
argumentasiyang kuat dan jelas (al-hujjat al-bayyinat). Dalam inggris,
al-burhan disebut demonstration, berasal dari bahasa latin demonsrate yang
berarti isyarat, sifat, keterangan, dan menampakkan.Al-Burhan dapat juga
diartikan sebagai pembuktian yang tegas (decisive proof) dan keterangan yang
jelas.
Menjadi dua kelompok: al-bayan sebagai metodologi, yang
berarti keterpisahan dan jelas. Irfan dengan bahasa Arab merpakan masdar dari
‘arafa yang semakna dengan ma’rifah. Dalam kamus Lisan Al-‘Arab, al-‘irfan
diartikan dengan al-‘ilm. Dikalangan para sufi, kata’irfan dipergunakan untuk
menunjukkan jenis pengetahuan yang tertinggi, yang dihadirkan dalam qalbu
dengan cara kasyf atau ilham. Hanya saja, istilah ini berkembang penggunaanya
dikalangan sufi, kecuali pada masa-masa belakangan ini saja.
B.
RUMUSAN MASALAH
a. Apa yang dimaksud dengan pendekatan
Bayani?
b. Apa yang dimasud dengan pendekatan Irfani?
c. Apa yang dimaksud dengan pendekatanBurhani?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. PENDEKATAN BAYANI
Al-jabiri dengan mengacu pada kamus Lisan AL-Arabi karya Ibn Manszur, menyimpulkan bahwa term al-bayan mengandung empat pengertian, yakni pemisahan ,
keterpisahan, jelas, dan penjelas. Keempat pengertian tersebut dapat
diklasifikasikan menjadi dua kelompok: al-bayan
sebagai metodologi, yang berarti keterpisahan dan jelas.
Namun, pada wilayah konotasi teoretis
konseptual, al-bayan sebagai sistem
epistemologi mencakup tiga pasangan konsep dasar: lafal ma’na, ashl-far, dan substansi-aksidensi.
Pasangan konsep pertama dan kedua mencakup aspek aspek metodologis,
sedangkan pasangan konsep ketiga mencakup aspek pandangan dunia.
Pendekatan bayani ini sudah lama dipergunakan
oleh para fuqoha’, mutakallimun, dan ushulliyun. Tujuan pendekatan bayani
adalah:
1. Memahami atau menganalisis teks guna
menemukan atau mendapatkan makna yang dikandung dalam (atau dikehendaki)
lafazh. Dengan kata lain, pendekatan ini dipergunakan untuk mengeluarkan makna
zahir dari lafazh dan ibarah yang zahir pula;dan
2. Istinbat hukum-hukum dari al-nusus
an-diniyah dan Al-Quran khususnya.
Makna
yang dikandung dalam hadis, dikehendaki oleh, dan diekspresikanmelalui teks
dapat diketahui dengan mencermati hubungan antara makna dan lafazh dapat
dilihat dari segi:
1) Makna wad’i;untuk apaa makna teks itu
dirumuskan, meliputi makna khas, ‘am, dan mustarak;
2) Makna isti’mali; makna apa yang
digunakan oleh teks, meliputi makna haqiqoh (sarihah dan mukniyah)dan makna
majaz (sarih dan kinayah);
3) Darajat al-wudhuh; sifat dan kualitas
lafz, meliputi muhkam, mufassar, nas, zahir, khafi, mushkil, mujmal, dan
mutasabih; dan
4) Turuqu ad-dalalah, penunjukan lafz
terhadap makna, meliputi adalah dalalah al-ibarah, dalalah al-isyarah, dalalah
al-nass, dan dalalah al- iqtida’ (menurut hanafiyah), atau dalalah al-manzum
dan dalalah al-mafhum, al-muwafaqah maupun mafhum al-mukhalafah (menurut
Syafi’iyyaah).
Untuk itu, pendekatan bayani menggunakan
alat bantu (instrumen) berupa ilmu-ilmu kebahasaan dan uslub-uslubnya serta
ashab an-nuzul, dan istinbat atau istidlal sebagai metodenya. Sementara kunci
(keywords) yang sering dijumpai dalam pendekatan ini meliputi asl-far’-lafz
ma’na (mantuq al-fughah dan muskhilah ad-dalalah; dan nizanm al-kitab dan nizal
al-aql), khabar qiyas, dan otoritas salaf (sultah al-salaf). Dalam al-qiyas
al-bayani, kita dapat membedakannya tiga macam:
1. Al-qiyas berdasarkan ukuran ukuran
kepantasan antara asl- dan far’ bagi hukum tertentu; yang meliputi:
a. Al-qiyas al-jali;
b. Al-qiyas fi ma’na an-nash; dan
c. Al-qiyas al-khafi;
2. Al-qiyas
berdasarkan ‘illat terbagi menjadi:
a. Qiyas al-‘illat dan
b. Qiyas al-dalalah;
3. Al-qiyas al-jama’i tehadap ashl dan far
‘.
Dalam pendekatan bayani dikenal 4 macam bayani:
1) Bayan al-i’tibar, yaitu penjelasan
mengenai keadaan, keadaan segala sesuatu, yang meliputi:
a. al-qiyas al-bayani, baik al-fiqhy,
an-nahwy dan al-kalamy; dan
b. al-khabar yang bersifat yaqin maupun tasdiq;
2) Bayan al-i’tiqad, yaitu penjelasan
mengenai segala sesuatu yang meliputi makna haq, makna muayabbih fih, dan makna
batil;
3) Bayan al-ibarah yang terdiri dari:
c. al-bayan az-zahir yang tidak membutuhkan
tafsir; dan
d. al-bayan al-batin yang yang membutuhkan
tafsir, qiyas, istidlal dan khabar;
4) Bayan al-kitab, maksudnya media untuk
menukil pendapat-pendapat da pemikiran dari katib khat, katib ‘aqd, katib hukm,
dan katib tadbir.
Dalam pendekatan bayani, karena dominasi
teks sedemikian kuat, peran akal hanya sebatas sebagai akal alat pembenaran
atau justifikasi atas teks yang difahami atau diinterpretasi. Namun,
menggunakan pendekatan bayani saja, tidaklah cukup karena terkadang tidak didapat penjelasan teks (nash) Al-quran
maupun Al-Hadis yang berkaitan dengan seni tradisi. Misalnya, jika mencari teks
atau nash Al-Quran dan Al-Hadis yang
berkaitan dengan seni trdisi hadrah, tahlilan, shalawatan, berjanji atau seni
tradisi dlam bentuk upacara seperti sekaten, ruwatan, tingkeban (tujuh bulan
bagi yang hamil), selametan atau haul hari ke-3, 7, 40, 100,dan ke-1000, sampai
kapan puntidak akan ditemukan.
Demikian juga, tidak rerdapat teks atau
nash yang menjelaskan seni budaya dalam bentk seni musik(pop, rock, dangdut)
seni model Sulis dan Hadad Alwi, Bimbo, nasyid serta banyak lagi seni tradisi
atau seni budaya lainya seperti dalam bentuk arsitektur , seni gamelan, wayang,
ludruk, jaipongan, dan sebagainya.
Di samping itu, terkadang sekalipun
terdapat nash atau teks normatif Al-Quran dan Al-Hadis yang berkaitan dengan
seni budaya sepeti larangan menggambar
(seni lukis) dalam sejumlah hadis bukhari, Musim dan Ahmad, penjelasan
teks tersebut sangat berkaitan erat dengan konteks historis dan sosiologisnya,
sehingga tidak cuup dengan hanya menggunakan pendekatan bayan saja cenderung
melahirkan pndangan keagamaan yang binnar opposition (hitam-putih, halal-haram,
sunah-bid’ah), tertutup kaku dan intoleran.
Oleh karena itu, diperlukan pendekatan
atau perspektif lain yang lebih bersikap terbuka, luwes, dan toleran, yaitu
pendekatan burhani dan irfani.Melalui pendekatan burhani (penerapan analis
rasiona-ideologis), kita dapat mengungkapkan konteks dari suatu risalah
keagamaan dan mengungkapkan realitas sejarah dari suatu seni tradisi, baik
geonologi pemikiran, nilai-nilai spiritualitas dan regiliusitasnya maupun
kandungan filosofis, local wisdom (kearifan lokal) serta visi pencerahan dan
kritik sosialnya.
B.
PEDEKATAN IRFANI
‘Irfan dengan bahasa Arab merpakan
masdar dari ‘arafa yang semakna dengan ma’rifah. Dalam kamus Lisan Al-‘Arab,
al-‘irfan diartikan dengan al-‘ilm. Dikalangan para sufi, kata’irf an dipergunakan untuk menunjukkan
jenis pengetahuan yang tertinggi, yang dihadirkan dalam qalbu dengan cara kasyf
atau ilham. Hanya saja, istilah ini berkembang penggunaanya dikalangan sufi,
kecualipada masa-masa belakangan ini saja.
Ketika irfan diadopsi kedalam islam ,
para ahli al-‘irfan mempermudahnyamenjadi pembicaraan mengenai al-tawzif, dan
upaya menyingkap wacaniQur’ani dan memperluas ‘ibarahnya untuk memperbanyak
makna. Jadi, pendekatan Irfani merupakan sebuah endekatan yang dikembangkan
oleh kaum arif untuk mengeluarkan makna batin dari batin lafz dan ‘ibarah; ia
juga merupakan Istinbat al-ma’rifah al-qalbyah dari Al-Quran.
Pendekatan irfani adalah pendekatan
pemahaman yang bertumpu pada instrumen pengalaman batin, dhawq, wijdan, basirah, dan instuisi. Metode yang
dipergunakan , meliputimanhajkashfi dan manhajiktishafi. Manhaj kashfi disebut
juga manhaj ma’rifah ‘rfani yang tidak menggunakan indra atau akal, tetapi
menggunakan kashf dengan riyadah dan mujahadah. Manhaj iktishafi disebut juga
al-mumathilah (analogi), yaitu metode untuk menyingkap dan menemukan rahasia
pengetahuan melalui analogi-analogi. Analogi dalam manhaj ini mencangkup:
a. analogi berdasarkan angka atau jumlah
seperti ½ = 2/4 = 4/8 , dst;
b. tamthil yang meliputi silogisme dan
induksi; dan
c. surah dan ashkal.
Dengan demikian, al-mumathilah adalah
manhaj iktishafi dan bukan manhaj kashfi. Pendekatan ‘irfani juga menolak atau
menghindari mitologi. Kaum ‘irfaniyyun tidak berurusan dengan mitodologi,
bahkan justru membersihkannya dari persoalan-persoalan agama. Dengan irfani
pula, mereka lebih mengupayakan menangkap hakikat yang terletak dibalik
shari’ah, dan yang batin (ad-dalalah al-lughawiyyah). Dengan memperhatikan dua
metode diatas, kita mengetahui bahwa sumber pengetahuan dalam irfani mencakup
ilham/intuisi dan teks (yang dicari makna batinnya melalui ta’wil).
Kata-kata kunci yang terdapat dalam
pendekatan ‘rfani, meliputi tanzil-ta’wil, haqiqi-majazi mumathilah an
zaahi-batin. Hubungan zahir-batin terbagi menjadi 3 segi: 1) siyasi mubashar,
yaitu memalingkan makna-makna ibarat pada sebagian ayat dan lafazh kepada
pribadi tertentu; 2) ideologi mazhab,
yaitu memalingkn makna-makna yang disandarkan pada mazhab atau ideologi
tertentu; dan 3) metafisika, yakni memalingkan makna-makna kepada gambaran
metafisik yang berkkaitan dengan al-ilah al-mut’aliyah dan aql kully dan nafs
al-kulliyah.
Pendekatan ‘irfani banyak dimanfaatkan
dalam takwil. Takwil ‘irfai terhadap Al-Quran bukan merupakan istinbat, bukan
ilham, bukan pula kashf, tetapi ia merupakan upaya mendekati lafazh-lafazh
Al-Quran lewat pemikiran yang berasal dari dan berkaitan dengan warisan ‘irfani
yang ada sebelum Islam, dengan tujuan
menangkap makna batinnya.
Contoh konkret dari pendekatan ‘irfani
lainnya adalah falsafah ishraqi yang memandang pengetahuan diskursif (al-hikmah
al-batiniyyah) harus dipadsecara kreatif
harmonis dengan pengetahuan intuitif (al-hikmah al-dhawqiyah). Dengan
pemaduan tersebut, pengetahuan yang diperoleh menjadi pengetahuan yang
mencerahkan, bahkan akan mencapai al-hikmah al-haqiqah.
Pengalaman batin Rasulullah SAW. Dalam
menerima wahyu Al-Quran merupakanontoh konkret dari pengetahuan ‘irfani. Namun,
dengan keyakinan yang kita pegangi selama ini, pengetahuan ‘irfangi akan
dikembangkan dalam kerangka ittiba’ ar-rasul.
Dapat dikatakan, meskipun pengetahuan
‘irfani bersifat subjektif, semua orang dapat merasakan kebenarannya. Artinya,
setiap orang dapat melakukan dengan tingkatan dan kadarnya sendiri-sendiri,
validitas kebenarannya bersifat partisifatif. Sifat intersubjektif tersebut
dapat dformulasikan dalam tahap- tahap sebagai berikut. Pertama,tahapan persiapan
diri untuk memperoleh pengetahuan melalui jalan hidup tertentu yang harus ia
ikuti untuk sampai pada kesiapan menerima “pengalaman”. Selanjutnya, tahapan
pencerahan dan terakhir tahap kontruksi. Tahap terakhir ini merupakan upaya
pemaparan secara simbolik saat diperlukan, dalam bentuk uraian, tulisan, dan
struktur yang dibangun, sehingga kebenaran yang diperoleh dapat diakses oleh
orang lain.
Imlikasi dari pengetahuan ‘irfani dalam
konteks pemikiran keislaman, adalah mengampiri agama-agama pada tataran
substantif dan esensi spiritualitasnya, dan mengembangkannya dengan penuh
kesadaran akan adanya pengalamannya dengan keagaman orang lain (the otherness)
yang berbeda aksidensi dan ekspresinya, namun memiliki substansi dan esensi
yang kurang lebih sama. Kedekatan kepada Tuhan yang transhistoris,
transkultural, dan transreligius diimbangi rasa empati dan simpati pada orang
lain secara elegan setara. budaya dan peradapan yang disinari oleh pancaran
fitnah ilahiyah.
Melalui pendekatan irfani (penerapan
analisis esoterik-intuitif), makna hakikat atau makna terdalam dibalik teks dan
konteks dapat diketahui. Jika asmsi dasar atau paradigma bayani lebih melihat
teks sebagai sebuah fenomena kebahasaan,sementara paradigma burhani lebih
melihat teks sebagai suatu yang berkaitan
dengan konteks, paradigma irfani lebih melihat teks sebagai sebuah
simbol dan isyarat (al-ramiyat wa al-ima’) yang menuntut pembacaan dan
penggalian makna terdalam (bathin) dari simbol-simbol dan isyarat-isyarat
tersebut dengan melibatkan kecerdsan emosional, kecerdasan sosial, dan
kecerdasan spiritual. Dalam konteks dialektik agama dan pluralitas seni tradisi
atau budaya lokal, pendekatan ‘irfani ini sebagaimana juga pendekatan burhani,
memiliki dua tugas penting. Pertama,membaca makna-makna terdalam dari
simbol-simbol dan isyarat-isyarat teks-keagamaan (nushush ad-ddiniyat). Kedua,
membaca makna-makna terdalam dari simbol-simbol dan isyarat-isyarat yng
terkandung dalam bentuk-bentuk seni tradisi atau budaya lokal.
Ketiga pendekatan diatas, saling berkait
erat antara satu dan yang lainnya dan membentuk hubungan dialogis-melingkar
(sirkuler-dialektis): memahami teks (bayani), tidak dapat dipisahkan dari
pemahaman konteksnya (burhani); pemahaman konteks (burhani) tidakdapat erlepas
dari pemahaman teks itu sendiri
(bayani); sementara pemahaman makna terdalam (irfani); membutuhkan pemahaman
teks dan konteks sekaligus.
C. PENDEKATAN BURHANI
Secara etimologis, al-burhan dalam
bahasa Arab, adalah argumentasiyang kuat dan jelas (al-hujjat al-bayyinat). Dalam
inggris, al-burhan disebut demonstration, berasal dari bahasa latin demonsrate
yang berarti isyarat, sifat, keterangan, dan menampakkan.Al-Burhan dapat juga
diartikan sebagai pembuktian yang tegas (decisive proof) dan keterangan yang
jelas.
Dalam Al-Mu’jam Al-falsafi dijelaskan
bahwa burhan adalah penjelasan terhadap sesuatu hujjah secara transparan, atau
merupakan hujjah itu sendiri, yang mengharskan adanya tashdi (pembenaran)
terhadap suatu persoaan karena kebenaran argumentasinya. Adapun menurut terma
logika, burhan adalah analogi yang disususn dari beberapa premis untuk
mendapatkan hasil yang menyakinkan.
Burhan adalah pengetahuan yang diperoleh
dari indra, percobaan dan hukum-hukum logika. Burhani atau pendekatan rasional
argumentasif adalah pendekatan yang mendasarkan diri pada kekuatan rasio
melalui instrumen logika (induksi, deduksi, abduksi, smbolik, proses, dll.) dan
metode diskursif (bathiniyah). Pendekatan ini menjadikan realitas maupun teks
dan hubungan antara keduanya sebagai sumber kajian. Realitas yang dimaksud
mencakup realitas alam (kawniyyah), realitas sejarah (tarikhiyyah), realitas
sosial (ijtimaiyyah), dan realitas budaya (tsaqafiyyah). Dalam pendekatan ini,
teks dan realitas (konteks) berada dalam satu daerah yang saling memengaruhi.
Teks tidak berdiri sendiri, ia selalu terikat dengan konteks yang mengelilingi
dan mengadakannya sekaligus dari mana teks itu dibaca dan ditafsirkan. Di
dalamnya ada maqulat (kategori-kategori), meliputi kully-juz’iy, jauhar-‘arad,
ma’qulat-alfaz sebagai kata kunci untuk dianalisis.
Karena burhani menjadikan realitas dan
teks sebagai sumber kajian, dalam pendekatan ini, ada dua ilmu penting, yaitu
ilmu al-lisan dan ilmu al-mantiq. Yang pertama membicarakan lafz-lafz,
kaifiyyah, susunan, dan rangkainnya dalam ibarat-ibarat yang dapat digunakan
untuk menyampaikan makna, serta cara merangkainya dalam diri manusia. Tujuannya
adalah menjaga lafazh ad-dalalah yang difahami dan menetapkan aturan-aturan
mengenai lafazh tersebut. Adapun yang kedua membahas maslah mufradat dan
susunan yang dengannya kita dapat menyampaikan segala sesuatu yang bersifat indrawi
dan hubungan yang tetap di antara segala sesuatu tersebut, atau apa yang
mungkin untuk mengeluarkan gambaran-gambaran dan hukum-hukum darinya.
Tujuannya adalah menetapkan
aturan-aturan yang digunakan untuk menentukan cara kerja akal cara mencapai
kebenaran yang mungkin diperoleh darinya . ‘Ilmu al-mantiq juga meruakan alat
(manahij al-adillah) yang menyampaikan kiya pada pengetahuan tentang maujud,
baik yang wajib atau mumkin, dan maujud fi-adhhan (rasionalisme) atau maujud fi
al-a’yan (empirisme). Ilmu ini terbagi menjadi tiga; mantiq mafhum (mabhath
al-tasawwur), mantiq al-hukm (mabhat al-qadaya), dan mantiq al-istidlal (mbhath
al-qiyas). Dalam perkembangan modern,ilmu mantiq biasanya hanya terbagi dua,
yaitu nazariyah al-hukm dan azariyah al-istidla.l
Dalam tradisi burhani, kita mengenal
sebutan falsafat al-ula (metafisika) dan falsafat al-tsani. Flsafat al-ula
membahas hal-hal yang berkaitan dengan wujud al-‘arady, wujud al-jawahir ula
(jawahir ula atau ashkas dan jawahir thaniyah atau al-naw), maddah dan surah,
dan asbab yang terjadi pada
a) maddah, surah, fa’il, dan ghayah;
b) ittifaq (sebab-sebab yang berlaku pada
alam semesta);dan
c) hazz (sebab-sebab yang berlaku pada
manusia).
Adapun
falsafat ath-thaniyah atau disebut juga ilmu al-tabi’ah,mengkaji masalah:
a. hukum-hukum yang berlau secara alami,
pada alam semesta (as-sunnah al-alamiyah) maupun manusia (as-sunnah
al-insaniyah);
b. taghayyur, yaitu gerak, baik azali
(harakah qadimah) maupun gerak maujud (harakah haditsah) yang bersifat plural
(muttanawwi’ah).
Gerak itu dapat terjadi pada jauhar
(substansi: kawn dan fasad), jumlah (berkembang atau berkurang ), perubahan
(istihalah), dan tempat (sebelum dan sesudah).
Dalam perkembangan keilmuan modern,
fasafah al-ula(metafisika) dimaknai sebagi pemikiran atau penalaran yang
bersifat abstrak dan mendalam (abstract and profound reasoning).Sementara itu,
pembahasan mengenai hukum-hukum yang berlaku pada manusia berkembang menjadi
ilmu-ilmu sosial (al-‘ulum al-insaniyyah). Dua ilmu terakhir ini mengkaji
interaksi pemikiran, kebudayaan, peradaban, nilai-nilai, kejiwaan, dan
sebagainya.
Oleh karena itu ,untuk memahami realitas
kehidupan sosial-keagamaan dan sosial-keislaman,lebih baik apabila digunakan
pendekatan-pendekatan sosiologi (sosiulujiyyah),antropologi(antrufulujiyyah), kebudayaan
(tsaqafiyyah),dan sejarah (tarikhiyyah).
Pendekatan sosiologis digunakan dalam
pemikiran islam untuk memahami realitas sosial-keagamaan dari sudut pandang
interaksi antara anggota masyarakat.Dengan metode ini,konteks sosial suatu
perilaku keberagamaan dapat didekati secara lebih tepat.Dengan metode ini
pula,kita bisa melakukan reka cipta masyarakat utama.Pendekatan antropologi
bermanfaat untuk mendekati masalah-masalah kemanusiaan dalam rangka melakukan
reka cipta budaya islam.Tentu saja,untuk melakukan reka cipta budaya islam juga
dibutuhkan pendekatan kebudayaan (thaqafiyyah) yang erat kaitannya dengan
dimensi pemikiran,ajaran-ajaran,dan konsep-konsep,nilai-nilai dan pandangan
dunia Islam yang hidup dan berkembang dalam masyarakat muslim.Agar reka cipta
masyarakat muslim dapat mendekati ideal masyarakat,strategi ini menghendaki
kesinambungan historis.Untuk itu,dibutuhkan juga pendekatan sejarah
(tarikhiyyah).Hal ini agar konteks sejarah masa lalu,kini,dan akan datang
berada dalam satu kaitan yang kuat dan kesatuan yang utuh (kontinuitas dan
perubahan).Ini bermanfaat agar pembaharuan pemikiran Islam tidak kehilangan
jejak historis.Ada kesinambungan historis antara bangunan pemikiran lama yang
baik dengan lahirnya pemikiran keislaman baru yang lebih memadai dan up to date.
Oleh karena itu,dalam burhani,keempat
pendekatan-tarikhiyyah,sosiulujiyyah,thaqafiyyyah dan antrufulujiyyah-berada dalam
posisi yang saling berhubungan secara dialektik dan saling membentuk jaringan
keilmuan.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pendekatan Bayani sumbernya didasarkan
dari teks yaitu Al.Qur’an dan Hadits.Tujuan pendekatan bayani adalah:
1. Memahami atau menganalisis teks guna
menemukan atau mendapatkan makna yang dikandung dalam (atau dikehendaki)
lafazh. Dengan kata lain, pendekatan ini dipergunakan untuk mengeluarkan makna
zahir dari lafazh dan ibarah yang zahir pula;dan
2. Istinbat hukum-hukum dari al-nusus
an-diniyah dan Al-Quran khususnya.
Pendekatan
Irfani bersumber dari pengalaman yaitu pengalaman-pengalaman spiritual.
Pendekatan irfani adalah pendekatan pemahaman yang bertumpu pada instrumen
pengalaman batin, dhawq, wijdan, basirah,
dan instuisi. Metode yang dipergunakan , meliputimanhaj kashfi dan manhaj
iktishafi.
Pendekatan
Burhani bersumber pada rasio,analisis dan akal. Pendekatan sosiologis digunakan
dalam pemikiran islam untuk memahami realitas sosial-keagamaan dari sudut
pandang interaksi antara anggota masyarakat.Dengan metode ini,konteks sosial
suatu perilaku keberagamaan dapat didekati secara lebih tepat.
DAFTAR
PUSTAKA
Anwar,
Rosihon. 2011. Pengantar Studi Islam.
Pustaka Setia: Bandung.
Rozak,
Abdul. 2001. Metodologi Studi Islam.
Gema Media pustakatama: Bandung
Comments
Post a Comment